Disiplin
merupakan kata yang tidak asing, sering ditakuti, terkadang memang terdengar
membosankan sehingga kedisiplinan sering dilanggar, bahkan sering dianggap
sebagai hukuman.
Namun jika dilihat dari
perspektif yang berbeda, disiplin yang berasal dari kata discere,
memiliki arti belajar. Jadi disiplin berarti belajar. Seorang guru atau orang
tua yang mendisiplinkan anak didiknya, maka guru atau orang tua tersebut
memberi pelajaran kapada anak didiknya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah disiplin merupakan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau
peraturan yang berlaku dan dibuat oleh suatu golongan atau kelompok, maupun
aturan tang dibuat sendiri. Mendisiplinkan juga berarti mengembalikan yang
salah kepada sesuatu yang benar dan tertib. Disiplin dengan ketertiban, jika
dilihat secara awam, merupakan dua hal yang hamper sama. Tetapi secara
harafiah, keduanya merupakan dua hal yang berurutan. Artinya, disiplin akan
terbentuk jika ada tata tertib (ketertiban) yang dibuat dan disepakati. Jadi
ketertiban itulan yang membentuk kedisiplinan (disiplin).
Memperhatikan pendapat Reisman dan Payne dalam Mulyasa (2004:21)
dapat dikemukakan Sembilan strategi untuk mendisiplinkan peserta didik, sebagai
berikut.
1.
Konsep diri atau
self-concept, strategi ini menekankan bahwa konsep diri masing-masing individu
merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri,
guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga
peserta didik dapat mengeksporasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan
masalah.
2.
Keterampilan
berkomunikasi atau communication skill, guru harus memiiki keterampilan daam
berkomunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong
timbulnya kepatuhan peserta didik.
3.
Konsekuensi logis dan
alami atau natural and logical consequence, Perilaku yang salah terjadi karena
peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya.
Untuk itu guru disarankan menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah,
sehingga membantu peserta didik daam mengatasi perilakunya, dan memanfaatkan
akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.
4.
Klarifikasi nilai atau
values clarification, strategi ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam
menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk system
nilainya sendiri.
5.
Analisis transaksional
atau transactional analysis, disarankan agar guru belajara sebagai orang
dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi
masalah.
6.
Terapi realistis atau
reality therapy, sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan
keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab.
7.
Disipin yang
terintegrasi atau assertive discipline, metode ini menekankan pengendalian
penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan.
Prinsip-prinsip modifikasi perilaku yang sistematik diimplementasikan di kelas,
termasuk pemanfaatan papan tulis untuk menuliskan nama-nama peserta didik yang
berperilaku menyimpang.
8.
Modifikasi perilaku atau
behavior modification, perilaku salah yang disebabkan oleh lingkungan, sebagai
tindakan remidiasi. Sehubungan dengan ha tersebut, dalam pembelajaran perlu
diciptakan lingkungan yang kondusif.
9.
Tantangan bagi disiplin
atau dare to discipline, guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan
dalam pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik
akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan
guru perlu membiarkan mereka mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai
pemimpin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar